Resensi Buku: Ayah

Judul: Ayah

Penulis: Andrea Hirata

Penerbit: PT Bentang Pustaka

Tahun terbit: Pertama, Mei 2015

Jumlah halaman: xx + 412 halaman

ISBN: 978-602-291-102-9

Andrea Hirata merupakan penulis yang sukses dengan buku pertamanya yang berjudul Laskar Pelangi. Penulis kelahiran Belitong ini kembali menorehkan hal yang sama pada novel kesembilannya yang berjudul Ayah. Novel yang terbit pada tahun 2015 ini menarik pembaca dari berbagai kalangan. Bahkan, novel ini masih diminati banyak orang setelah 5 tahun perilisannya.

Novel Ayah bercerita tentang seorang pria bernama Sabari. Sabari adalah pria yang dingin dan susah jatuh cinta kepada perempuan. Suatu hari, ia jatuh cinta kepada seorang gadis bernama Marlena. Sayangnya, rasa cinta itu bertepuk sebelah tangan. Marlena membenci Sabari karena wajah Sabari tidak setampan pria lain. Namun, Sabari tidak putus asa mengejar Marlena. Dengan kegigihannya, Sabari berhasil meluluhkan hati Marlena. Sabari bersedia menikah dengan Marlena meskipun Marlena tengah mengandung anak dari pria lain. Beberapa waktu kemudian, anak Marlena lahir dan diberi nama Zoro.

Sabari bekerja keras untuk membahagiakan Zoro dan Marlena. Akan tetapi, pernikahan yang tidak berlandaskan cinta membuat Marlena menggugat cerai Sabari. Sabari merasa sedih. Ia menyetujui perceraian itu asalkan Zoro tetap tinggal bersamanya. Namun, Marlena tidak setuju. Marlena justru mengambil anaknya dan pergi ke luar kota. Sepeninggal Zoro, hidup Sabari semakin tertekan hingga membuat para sahabatnya iba. Sahabat Sabari, yaitu Tamat dan Ukun rela mencari Marlena dan Zoro ke seantero Sumatera. Perjuangan mereka mencari ibu dan anak tersebut penuh liku. Mereka rela melakukan apa saja demi kebahagiaan Sabari dan persahabatan mereka.

Pembawaan kisah dalam novel Ayah tidak lepas dari latar sosial dan geografis penulis. Andrea Hirata sebagai orang Belitung asli begitu mahir menambahkan unsur psikologis orang Belitong sehingga novel Ayah tersaji begitu natural dan nyata. Andrea Hirata juga berusaha menarasikan kehidupan orang Belitong dengan aneka problematika dan ciri khasnya. Dalam novel ini, warga Belitong dikisahkan memiliki semangat dan budaya tutur lisan yang mendarah daging. Gambaran tersebut diwujudkan melalui tokoh Sabari yang menyukai puisi, mahir mendongeng, dan pandai bercakap-cakap. Bahasa yang digunakan Andrea Hirata begitu ringan dan enak dibaca sehingga pembaca mudah larut dalam bacaan. Andrea Hirata juga menyusupkan gurauan-gurauan khas Melayu yang bernada sindiran atas sistem pendidikan yang kurang memadai di Belitong pada masa itu. 

Novel Ayah memiliki alur campuran. Alur campuran ini sedikit membingungkan pembaca. Pembaca perlu mencermati setiap bagian novel agar benar-benar memahami garis waktu yang digunakan penulis. Selain itu, pada beberapa bagian, Andrea Hirata menyajikan kisah dengan agak berlebihan.

(Sumber : kumparan.com, dengan penyesuaian)