Biografi Pramoedya Ananta Toer

(Sumber gambar: haibunda.com)

Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu nama yang tidak asing dalam sejarah sastra Indonesia. Nama tersebut adalah nama pena. Di keluarganya, beliau lebih akrab dipanggil Moek, Mas Moek, atau Mamoek. Nama Pramoedya Ananta Toer, tak sangsi lagi, merupakan sejarah panjang pergulatan pemikiran dan perenungan. Nama tersebut melambung karena karya-karya kontroversial yang ditulis pemiliknya.

Mas Moek berasal dari Blora. Beliau pergi ke Jakarta tahun 1942 dan kembali ke Blora pada tahun 1950. Ia datang ketika Bapaknya sakit keras. Setelah Bapaknya meninggal, Moek menjadi kepala keluarga bagi adik-adiknya. Ia meminta adik-adiknya untuk menggunakan nama "Toer". Dengan demikian, berubahlah nama belakang adik-adiknya menjadi Prawito Toer, Koenmarajatoen Toer, Oemisafaatoen Toer, Koesaiah Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Seosilo Toer, dan Soesetyo Toer.

Kebiasaan menulis Mas Moek dan adik-adiknya diwarisi oleh bapak. Saya adalah salah satu adik yang mengikuti kebiasaan tersebut. Hubungan saya dengan Mas Moek juga dapat dikatakan baik. Dalam surat untuk adik-adiknya yang bersifat umum, ada bagian khusus ditujukan kepada saya dengan nada yang mesra. Kedekatan kami ini, membuat saya selalu mengunjunginya jika ada kesempatan dan keperluan. Walau demikian, ada masa hubungan kami diwarnai ketegangan. Pada suatu hari, saya menulis surat yang sangat tajam karena saya merasa diperlakukan tidak adil. Berhari-hari saya merasa sedih karena surat itu. Akhirnya, saya memutuskan untuk meminta maaf. Jawaban beliau adalah "Kau itu adikku yang paling kusayang. Bagaimana bisa ada surat macam itu?"

Nama Mas Moek semakin melambung, melintasi sekat-sekat budaya dan organisasi, melintasi batas-batas negeri. Itu disebabkan bukan hanya karena mutu karyanya, tetapi juga karena pelarangan atas karya-karyanya, pencekalan atas dirinya, dan sikapnya yang berani memprotes perlakukan tak adil atas dirinya. Hasta Mitra menerbitkan kuartet Mas Moek, karya Pulau Buru. Satu demi satu buku itu keluar, dan satu demi satu pula buku itu diberedel. Dilarang beredar. Tapi pemberedelan itu justru semakin membesarkan namanya. Di mana-mana orang justru mencari buku-bukunya untuk dibaca dan digandakan. Kalau tidak ada aslinya, fotokopinya yang dicari. Sosok Mas Moek tidak hanya lagi menjadi sosok sastra, tetapi juga menjadi sosok rakyat, sosok Indonesia, bahkan sosok internasional. Tidak heran bila ada orang-orang tertentu mengaku dengan terus terang bahwa mereka telah mengamati Pramoedya. Orang-orang tersebut adalah Dr. Daniel Dhakidae, Profesor A. Teeuw, dan H.B. Jassin. Tak sedikit juga orang yang mengidamkan hadiah Nobel, hadiah paling bergensi di dunia sastra, untuk Mas Moek. 

Berbicara tentang eksistensi Mas Moek, tidak mungkin jika kita tidak mengaitkannya dengan lingkungan keluarga. Banyak orang yang penasaran dengan kehidupan sastrawan yang berani ini. Saya juga menyadari bahwa Mas Moek bukan saja sekadar Mas Moek. Ia adalah Pramoedya yang bukan lagi milik keluarga, tetapi juga milik bangsa, dan milik internasional. Saya menulis tentang Mas Moek sebagai sosok yang nyata, bukan manusia di angan-angan atau lamunan. 

(Sumber: Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali karya Koesalah S.Toer, dengan penyesuaian)